KKN Unismuh Wilayah Bualemo Desa Tikupon |
Perikanan Tangkap
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi perikanan yang sangat besar dan beragam. Indonesai memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan 70% (5,8 juta km2) dari luas Indonesia adalah lautan(Budiharsono, 2001). Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut dalam Budiharsono (2001) melaporkan bahwa potensi lestari sumberdaya perikanan laut Indonesia adalah 6,4 juta ton per tahun dengan porsi terbesar dari jenis ikan pelagis kecil yaitu sebesar 3,2 juta ton (52,54%), jenis ikan demersal 1,8 juta ton (28,96%) dan perikanan pelagis besar 0,97 juta ton (15,81%). Potensi sumberdaya perikanan yang besar tersebut sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tetapi potensi tersebut belum dioptimalkan (Efendy, 2001). Sejarah pengelolaan sumberdaya ikan menunjukkan bahwa kegagalan pengelolaan beberapa stok sumberdaya perikanan di Indonesia berpangkal dari kesalahan dalam perencanaan dan antisipasi awal terhadap dampak pengoperasian alat tangkap dan dinamikanya sebagai bagian besar dari revolusi biru –modernisasi perikanan. Modernisasi perikanan dilakukan pemerintah melalui motorisasi kapal penangkap ikan, penggunaan alat tangkap berkapasitas besar (purse seine, trawl)
dengan maksud dan tujuan meningkatkan produk hasil tangkapan untuk mengejar target kebutuhan konsumsi ikan, baik kebutuhan lokal maupun internasional (ekspor). Pertumbuhan industri perikanan di Indonesia periode 1870an sampai 1930an oleh Butcher sebagai periode penangkapan ikan banyak dengan teknologi dan perluasan daerah penangkapan sebagai akibat modernisasi perikanan.
beberapa faktor yang diduga mempengaruhi hasil tangkapan nelayan antara lain adalah: (1) tenaga kerja, (2) bahan bakar, (3) jenis alat tangkap yang digunakan, (4) jenis kapal, (5) perbekalan, dan (6) pengalaman (Zen et al., 2002). Kombinasi faktor-faktor produksi yang serasi akan meningkatkan efisiensi, yang pada gilirannya meningkatkan penghasilan nelayan yang menggantungkan hidupnya pada usaha penangkapan ikan.
Daerah tikupon memiliki wilayah perairan laut yang cukup luas, pemanfaatan sumberdaya ikan laut diwilayah belum merata, berdasarkan data yang ada jumlah penduduk yang memanfaatkan wilayah perairan bagi kegiatan perikanan tangkap adalah sekitar 25 RTP yang hidupnya tergantung pad sumber daya perikanan oleh karena itu keberadaan sumber daya perikanan untuk kegiatan perikanan tangkap harus dikelola dengan baik sehingga dapat berkesinambungan, kesinambungan usaha perikanan tangkap selain bergantung pada kelestarian stok (sumberdaya perikanan) dan daya dukung lingkungan juga tergantung pada alat tangkap yang digunakan. Dalam kegiatan perikanan tangkap di desa Tikupon nelayan menggunakan berbagai jenis alat tangkap seperti jarring angkat, jarring klitik maupun pancing dengan hasil tangkapan multi sepsis.Penggunaan alat tangkap yang tidak seletif dikhawatirkan akan menurunkan hasil tangkapan
Pengoperasian alat tangkap yang tidak selektif berdasarkan hasil diskusi dalam Destructive Fishing Practice i 9th International Coral Reef Symposium, Bali-Indonesia 2000 masih merupakan masalah utama dalam hal kegiatan perikanan tangkap di Indonesia. Dengan kata lain, alat tangkap yang dioperasikan tersebut harus selektif sehingga tidak sampai merusak sumberdaya dan lingkungannya. Berdasarkan uraian di atas adalah penting untuk mengetahui komposisi alat tangkap yang digunakan nelayan untuk menangkap sumberdaya perikanan pada perairan Desa Tikupon agar perikanan tangkap tersebut dapat berkelanjutan.
1.2 PERUMUSAN MASALAH
Sumberdaya perikanan yang beraneka (multi-species) mengakibatkan terjadinya penggunaan alat tangkap yang beraneka pula. Permasalahan yang timbul adalah bagaimana komposisi alat tangkap yang digunakan oleh nelayan pada perairan desa Tikupon kecamatan Bualemo Kabupaten Banggai.
1.3. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis alat tangkap yang dioperasikan oleh nelayan pada perairan desa Tikupon Kecamatan Bualemo Kabupaten Banggai.
1.4. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai jenis alat tangkap yang beroperasi pada perairan desa Tikupon Juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan informasi bagi peneliti-peneliti selanjutnya.
beberapa faktor yang diduga mempengaruhi hasil tangkapan nelayan antara lain adalah: (1) tenaga kerja, (2) bahan bakar, (3) jenis alat tangkap yang digunakan, (4) jenis kapal, (5) perbekalan, dan (6) pengalaman (Zen et al., 2002). Kombinasi faktor-faktor produksi yang serasi akan meningkatkan efisiensi, yang pada gilirannya meningkatkan penghasilan nelayan yang menggantungkan hidupnya pada usaha penangkapan ikan.
Daerah tikupon memiliki wilayah perairan laut yang cukup luas, pemanfaatan sumberdaya ikan laut diwilayah belum merata, berdasarkan data yang ada jumlah penduduk yang memanfaatkan wilayah perairan bagi kegiatan perikanan tangkap adalah sekitar 25 RTP yang hidupnya tergantung pad sumber daya perikanan oleh karena itu keberadaan sumber daya perikanan untuk kegiatan perikanan tangkap harus dikelola dengan baik sehingga dapat berkesinambungan, kesinambungan usaha perikanan tangkap selain bergantung pada kelestarian stok (sumberdaya perikanan) dan daya dukung lingkungan juga tergantung pada alat tangkap yang digunakan. Dalam kegiatan perikanan tangkap di desa Tikupon nelayan menggunakan berbagai jenis alat tangkap seperti jarring angkat, jarring klitik maupun pancing dengan hasil tangkapan multi sepsis.Penggunaan alat tangkap yang tidak seletif dikhawatirkan akan menurunkan hasil tangkapan
Pengoperasian alat tangkap yang tidak selektif berdasarkan hasil diskusi dalam Destructive Fishing Practice i 9th International Coral Reef Symposium, Bali-Indonesia 2000 masih merupakan masalah utama dalam hal kegiatan perikanan tangkap di Indonesia. Dengan kata lain, alat tangkap yang dioperasikan tersebut harus selektif sehingga tidak sampai merusak sumberdaya dan lingkungannya. Berdasarkan uraian di atas adalah penting untuk mengetahui komposisi alat tangkap yang digunakan nelayan untuk menangkap sumberdaya perikanan pada perairan Desa Tikupon agar perikanan tangkap tersebut dapat berkelanjutan.
1.2 PERUMUSAN MASALAH
Sumberdaya perikanan yang beraneka (multi-species) mengakibatkan terjadinya penggunaan alat tangkap yang beraneka pula. Permasalahan yang timbul adalah bagaimana komposisi alat tangkap yang digunakan oleh nelayan pada perairan desa Tikupon kecamatan Bualemo Kabupaten Banggai.
1.3. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis alat tangkap yang dioperasikan oleh nelayan pada perairan desa Tikupon Kecamatan Bualemo Kabupaten Banggai.
1.4. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai jenis alat tangkap yang beroperasi pada perairan desa Tikupon Juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan informasi bagi peneliti-peneliti selanjutnya.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sumberdaya Perikanan
Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang sifatnya terbatas dan dapat pulih(renewable), yang berarti bahwa setiap pengurangan yang disebabkan kematian maupun penangkapan akan dapat memulihkan sumberdaya tersebut kembali ke tingkat produktivitas semula (Anonymous 1993). Namun apabila tekanan pengusahaan atau penangkapan tersebut cukup tinggi intensitasnya hingga melampaui daya dukung, maka untuk pulih kembali akan memerlukan waktu yang relative lama (anonymous 1993, Dahuri 1999). Sumberdaya perikanan merupakan milik bersama (common properties), sementara hak pemanfaatannya bersifat terbuka untuk siapa saja (open acces) (Naamin 1991).
2.1.1 Sumberdaya Ikan
Sumberdaya ikan terdiri dari ikan pelagis dan ikan demersal, dimana ikan pelagis mencakup ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil yang hidup di pemukaan laut atau didekatnya (Djatikusumo 1975, Merta et al. 1998)
Ikan pelagis yang banyak terdapat di wilayah perairan dekat pantai adalah pelagis kecil, misalnya ter, kembung, laying, selar dan bentong (Merta et al 1998). Sedangkan ikan demersal merupakan kelompok ikan yang hidup di dasar atau dekat dasar perairan, dimana beberapa speciesnya merupakan species ikan karang yang mempunyai nilai ekonomis penting, yakni bambangan (Lutjanidae), kerapu (Serranidae), Baronang (Siganidae) ekor kuning (caesionidae) serta species-species ikan hias seperti napoleon (Labridae) dan ikan konsumsi lainnya (Aoyama 1973, Badrudin et al 1998, Djamali et al 1998).
2.1.2 Sumberdaya Non-ikan
Sumberdaya non ikan mencakup kelompok dari krustase, moluska dan rumput laut. Indonesia mempunyai lebih dari 83 species udang yang termasuk ke dalam suku Penaeidae (Crosnier 1984). Udang merupakan salah satu species sasaran (target species) yang cukup penting dari usaha penangkapan di laut. Udang penaeid terdapat di sepanjang perairan pantai yang relative dangkal dan terlindung (di perairan estuaria dan teluk-teluk yang biasanya terdapat muara sungai atau hutan mangrove dan dasar perairannya landai (Sumiono dan Priyono 1998)
Krustase lainnya adalah rajungan, habitatnya beragam yaitu perairan pantai dengan dasar pasir atau pasir berlumpur dan laut terbuka, penyebarannya dapat mencapai kedalaman 65 m. Dalam siklus hidupnya rajungan tidak memerlukan perairan mangrove (Sumiono dan Priyono 1998). Cumi-cumi (kelompok moluska) merupakan salah satu sumberdaya non ikan yang paling penting dalam perikanan Indonesia, Cumi-cumi tertangkap hamper di seluruh perairan Indonesia dan biasanya tertangkap bersama-sama species ikan pelagis lainnya. Cumi-cumi yang tertangkap biasanya terdiri dari cumi-cumi (squid), sotong (cuttle fish) dan gurita (octopus) (Badrudin dan Mubarak 1998, Djamali et al 1998)
2.2 Perikanan Tangkap
erikanan tangkap adalah usaha ekonomi dengan mendayagunakan sumber hayati perairan dan alat tangkap untuk menghasilkanikan dan memenuhi permintaan akan ikan (Achmad 1999). Pengusahaan perikanan yang tidak terawasi dapat mengakibatkan penangkapan yang berlebih (overfishing), penuruan mutu bahkan dapat merusak produktivitasnya (Naamin 1991)
2.2.1 Alat Tangkap
Alat tangkap ikan yang merupakan salah satu sarana pokok adalah penting dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan secara optimal dan berkelanjutan (Anonymous, 1993). Adapun jenis alat tangkap yang dominan digunakan, mencakup jarring insang (gill net), rawai (longline), pukat cincin(purse seine) dan jaring udang (trawl) (ayward 1992, Mulyanto 1995).
Jaring insang merupakan alat tangkap yang mempunyai besar mata jaring yang disesuaikan dengan sasaran ikan atau non-ikan yang akan ditangkap, dan ikan yang tertangkap karena terjerat pada bagian tutup insangnya (Subani dan Barus 1989, Mulyanto 1995). Rawai merupakan alat tangkap yang berbentuk rangkaian tali temali panjang yang bercabang-cabang dan setiap ujung cabangnya diikatkan sebuah mata pancing (hook) dengan berbagai ukuran (Hayward 1992, Subani dan Barus 1989).
Pukat cincin merupakan alat tangkap yang dilengkapi dengan cincin dan tali kerut pada bagian bawah jaring, yang gunanya untuk menyatukan bagian bawah jaring sewaktu operasi dengan cara menarik tali kerut tersebut ( Hayward 1992, Mulyanto 1995, Subani dan Barus 1989) Pukat udang dari segi operasionalnya sama dengan pukat harimau (yang penggunaannya dilarang berdasarkan Keppres No.39 tahun 1980) , yang membedakan adalah adanya tambahan alat pemisah ikan (Subani dan Barus 1989, Mulyanto 1995).
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survei dengan mengumpulkan data yang tersedia (data sekunder) berupa: kategori jenis dan jumlah alat tangkap. Selain itu juga akan dilakukan observasi lapang dan wawancara secara purposive untuk mengumpulkan data primer
3.3 Analisis Data
Data yang dikoleksi kemudian dianalisis secara deskriptip dengan mencocokan jenis alat tangkap yang teridentifikasi dengan jenis alat tangkap yang tidak selektif. Berdasarkan aturan yang berlaku untuk ukuran mata jaring yang digunakan, fase species ikan yang tertangkap serta wilayah pengoperasiannya. Selain itu, juga dicari jenis alat tangkap yang dominant beroperasi.
2.1 Sumberdaya Perikanan
Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang sifatnya terbatas dan dapat pulih(renewable), yang berarti bahwa setiap pengurangan yang disebabkan kematian maupun penangkapan akan dapat memulihkan sumberdaya tersebut kembali ke tingkat produktivitas semula (Anonymous 1993). Namun apabila tekanan pengusahaan atau penangkapan tersebut cukup tinggi intensitasnya hingga melampaui daya dukung, maka untuk pulih kembali akan memerlukan waktu yang relative lama (anonymous 1993, Dahuri 1999). Sumberdaya perikanan merupakan milik bersama (common properties), sementara hak pemanfaatannya bersifat terbuka untuk siapa saja (open acces) (Naamin 1991).
2.1.1 Sumberdaya Ikan
Sumberdaya ikan terdiri dari ikan pelagis dan ikan demersal, dimana ikan pelagis mencakup ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil yang hidup di pemukaan laut atau didekatnya (Djatikusumo 1975, Merta et al. 1998)
Ikan pelagis yang banyak terdapat di wilayah perairan dekat pantai adalah pelagis kecil, misalnya ter, kembung, laying, selar dan bentong (Merta et al 1998). Sedangkan ikan demersal merupakan kelompok ikan yang hidup di dasar atau dekat dasar perairan, dimana beberapa speciesnya merupakan species ikan karang yang mempunyai nilai ekonomis penting, yakni bambangan (Lutjanidae), kerapu (Serranidae), Baronang (Siganidae) ekor kuning (caesionidae) serta species-species ikan hias seperti napoleon (Labridae) dan ikan konsumsi lainnya (Aoyama 1973, Badrudin et al 1998, Djamali et al 1998).
2.1.2 Sumberdaya Non-ikan
Sumberdaya non ikan mencakup kelompok dari krustase, moluska dan rumput laut. Indonesia mempunyai lebih dari 83 species udang yang termasuk ke dalam suku Penaeidae (Crosnier 1984). Udang merupakan salah satu species sasaran (target species) yang cukup penting dari usaha penangkapan di laut. Udang penaeid terdapat di sepanjang perairan pantai yang relative dangkal dan terlindung (di perairan estuaria dan teluk-teluk yang biasanya terdapat muara sungai atau hutan mangrove dan dasar perairannya landai (Sumiono dan Priyono 1998)
Krustase lainnya adalah rajungan, habitatnya beragam yaitu perairan pantai dengan dasar pasir atau pasir berlumpur dan laut terbuka, penyebarannya dapat mencapai kedalaman 65 m. Dalam siklus hidupnya rajungan tidak memerlukan perairan mangrove (Sumiono dan Priyono 1998). Cumi-cumi (kelompok moluska) merupakan salah satu sumberdaya non ikan yang paling penting dalam perikanan Indonesia, Cumi-cumi tertangkap hamper di seluruh perairan Indonesia dan biasanya tertangkap bersama-sama species ikan pelagis lainnya. Cumi-cumi yang tertangkap biasanya terdiri dari cumi-cumi (squid), sotong (cuttle fish) dan gurita (octopus) (Badrudin dan Mubarak 1998, Djamali et al 1998)
2.2 Perikanan Tangkap
erikanan tangkap adalah usaha ekonomi dengan mendayagunakan sumber hayati perairan dan alat tangkap untuk menghasilkanikan dan memenuhi permintaan akan ikan (Achmad 1999). Pengusahaan perikanan yang tidak terawasi dapat mengakibatkan penangkapan yang berlebih (overfishing), penuruan mutu bahkan dapat merusak produktivitasnya (Naamin 1991)
2.2.1 Alat Tangkap
Alat tangkap ikan yang merupakan salah satu sarana pokok adalah penting dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan secara optimal dan berkelanjutan (Anonymous, 1993). Adapun jenis alat tangkap yang dominan digunakan, mencakup jarring insang (gill net), rawai (longline), pukat cincin(purse seine) dan jaring udang (trawl) (ayward 1992, Mulyanto 1995).
Jaring insang merupakan alat tangkap yang mempunyai besar mata jaring yang disesuaikan dengan sasaran ikan atau non-ikan yang akan ditangkap, dan ikan yang tertangkap karena terjerat pada bagian tutup insangnya (Subani dan Barus 1989, Mulyanto 1995). Rawai merupakan alat tangkap yang berbentuk rangkaian tali temali panjang yang bercabang-cabang dan setiap ujung cabangnya diikatkan sebuah mata pancing (hook) dengan berbagai ukuran (Hayward 1992, Subani dan Barus 1989).
Pukat cincin merupakan alat tangkap yang dilengkapi dengan cincin dan tali kerut pada bagian bawah jaring, yang gunanya untuk menyatukan bagian bawah jaring sewaktu operasi dengan cara menarik tali kerut tersebut ( Hayward 1992, Mulyanto 1995, Subani dan Barus 1989) Pukat udang dari segi operasionalnya sama dengan pukat harimau (yang penggunaannya dilarang berdasarkan Keppres No.39 tahun 1980) , yang membedakan adalah adanya tambahan alat pemisah ikan (Subani dan Barus 1989, Mulyanto 1995).
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survei dengan mengumpulkan data yang tersedia (data sekunder) berupa: kategori jenis dan jumlah alat tangkap. Selain itu juga akan dilakukan observasi lapang dan wawancara secara purposive untuk mengumpulkan data primer
3.3 Analisis Data
Data yang dikoleksi kemudian dianalisis secara deskriptip dengan mencocokan jenis alat tangkap yang teridentifikasi dengan jenis alat tangkap yang tidak selektif. Berdasarkan aturan yang berlaku untuk ukuran mata jaring yang digunakan, fase species ikan yang tertangkap serta wilayah pengoperasiannya. Selain itu, juga dicari jenis alat tangkap yang dominant beroperasi.
0 comments:
Post a Comment